Sinopsis Mendobrak Hegemoni Kekuasaan Korup

Posted by Unknown On Sabtu, 28 Juli 2012 0 komentar


 
 
I. DATA BUKU
 
Judul Buku : Mendobrak Hegemoni Kekuasaan Korup

Penulis : H. Darmansyah Asmoerie
Penerbit : Nuansa Cendekia

Tahun : 2003

Tebal Buku : 260 Halaman 


  1. ISI NASKAH
    1. Politik dan Kekuasaan Yang Korup
Memilih ‘putra terbaik’ yang mampu membawa bangsa dan negara ini keluar dari krisis memang bukan pekerjaan gampang. Sejak reformasi dipilih sebagai ‘jalan tol’ untuk mengubah keadaan negeri ini, banyak kalangan merasa bahwa kita selalu ‘gagal’ memilih pimpinan negara yang kapabel sekaligus diterima oleh mayoritas rakyat Indonesia.
Tetapi, memilih presiden yang sesuai harapan tidaklah gampang. Apalagi, jika sistem yang dipakai masih sepenuhnya berpijak pada kriteria-kriteria kuantitatif siappun yang paling banyak mendapat dukungan suara rakyat dialah yang berhak, tanpa melihat kapabilitasnya. Dan, inilah yang lebih tercermin pada RUU-PPL.
Dengan RUU itu kita masih belum yakin bahwa mekanisme pemilihan presiden secara langsung nanti akan mampu mnjaring calon presiden yang benar-benar kapabel. Sebab, rumusan-rumusan RUU ini masih didominasi oleh logika-logika kuantitatif. Klausul bahwa ‘hanya partai yang meraih 20% kursi di DPR saja yang dapat mengajukan calon presiden’ misalnya, dapat menghambat laju calon-calon lain yang lebih kapabel yang dijagokan oleh partai-partai lain yang perolehan kursinya di bawah 20%. Karena itu, kalusul tersebut perlu ditinjau kembali.
Memang wajar jika tiap parpol memperjuangkan calonnya untuk lolos ke kursi kekuasaan. Tetapi, ini janganlah sampai melupakan pentingnya kapabilitas seorang calon. Karena itu, selain harus benar-benar menyiapkan ‘calon terbaik’ untuk memimpin negeri ini, parpol-parpo besar juga harus bersedia ‘sedikit mengalah’ untuk memberi peluang bagi calon dari parpol lain untuk ‘bertarung’ dan melakukan ‘uji kualitas’ secara fair-meskipun calon itu bukan dari parpol besar.
Pengalaman buruk pasca-Soeharto layak menyadarkan kita untuk kembali menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan sempit parpol tertentu. Sebab, begitu dilantik menjadi presiden, ia bukan lagi ‘presiden parpol’ yang bisa memanfaatkan kekuasaannya hanya untuk kepentingan parpolnya. Bagaimanapun, parpol hanya ‘kendaraan’ untuk mengantarkan ‘putra terbaik’ negeri ini ke kursi presiden guna melaksanakan amanat rakyat.
Quo Vadis DPR. Setelah masyarakat dibikin kesal sebagian anggota DPR yang terus menerus menghindar tuntutan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) untuk membubarkan KPKPN dan kemudian memasukkannya ke dalam Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Keputusan DPR yang dipromotori Partai Golkar ini benar-benar menohok perasaan masyarakat yang kini mulai percaya dengan kinerja KPKPN yang dikomandani Jusuf Syakir itu.
Lembaga yang belum lama ini berhasil mengungkap korupsi yang dilakukan Jaksa Agung MA Rachman, dalam beberapa bulan terakhir berhasil mendapat kepercayaan masyarakat yang selama ini menaruh harapan untuk memberantas korupsi akut di Indonesia.

              1. Tragedi Penegakan Hukum di Indonesia
Ketika era reformasi bergulir, sebetulnya kaum buruh mengharap seberkas sinar cerah: ada perbaikan nasib dan peningkatan posisi bargaining. Tapi apa yang terjadi? Ternyata nihil. Buruh masih tetap seperti budak, tak punya bargaining, dan tak berdaya mendapat perlakukan kejam para penguasa dan pengusaha. Majikan dan tuan pejabat masih terlalu kuat di hadapan para buruh sehingga sulit diajak dialog dan kompromi untuk mengangkat nasib kaum buruh yang papa.
Di era reformasi, kondisi tersebut juga tak berubah. Rezim memang pernah berjanji untuk mengangkat wong cilik yang sebagian besar kaum buruh. Tapi setelah rezim yang mengusung nama wong cilik ini berkuasa, buruh kembali ditindas. Bahkan di era rezim “pembela wong cilik” ini, kehidupan kaum buruh makin terlantar. Biaya sekolah anak naik, transportasi naik, BBM naik, telepon naik, beras naik, gula naik – semuanya naik kecuali satu yang tidak: penghasilan dan gaji buruh.
Secara tertulis, barangkali Indonesia adalah negara yang paling maju dalam “bercita-cita dan berupaya” menegakkanhak asasi manusia (HAM), termasuk di dalamnya hak asasi anak-anak. Betapa tidak! Indonesia telah mendeklarasikan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang muatannya sangat komprehensif dan ideal. Di antara muatan UU Nomor 39 Tahun 1999 itu, terdapat paragraf-paragraf penting yang mengemukakan hak asasi anak, yaitu mulai pasal 52 sampai 66.
Mau tahu isinya? Ayat 1 Psal 52 berbunyi: Setiap anak berak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. Pasal 2: Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan!
Dari kalimat-kalimat Pasal 52 itu saja – jika tidak tahu keadaan yang sebenarnya – orang akan mengakui bahwa kondisi HAM anak-anak di Indonesia sudah sangat baik. Di atas kertas, kehidupan anak-anak Indonesia mestinya terjamin segala-galanya: keamanan, pendidikan, kesejahteraan, dan masa depannya.
Nah, sekarang bagaimana di Indonesia? Tamaknya hal-hal semacam itu belum terpikirkan, bahkan oleh DPR sekali pun! Padahal itu sangat penting karena kecelakaan kendaraan di jalan raya, korbannya sebagian besar anak-anak.
Kini saatnya pemerintah harus serius memperhatikan hak asasi anak jika ingin melihat bangsa Indonesia bangkit di masa depan. Ingat, masa depan adalah milik anak-anak – bukan milik orang dewasa yang kini sedang berkuasa.

              1. Kisah Sedih Manusia Indonesia
Di negeri yang masyarakatnya mengaku berbudaya tinggi ini penghargaan terhadap prestasi budaya dan intelektual sangat rendah. Soetardji Calzoem Bachri, lima tahun lalu, pernah tersinggung karena mendapat penghargaan sebagai budayawan berprestasi dengan hadiah uang hanya Rp 1 juta. Padahal, kelompok lawak Bagito Grup, saat itu, tarifnya Rp 20 juta sekali tampil. Gunaris, mahasiswa ITS Surabaya yang berhasil meraih penghargaan pelbagai penemuan teknologi, mulai dari perahu nelayan bertenaga matahari sampai kotak telepon pintar yang bisa menerima uang kertas belum lama ini, hidupnya tetap miskin dan meminta dana ke sana-kemari untuk melakukan penelitiannya. Sementara, seorang artis ketiban (karena kedekatan ibunya dengan sutradara), kebanjiran uang dari perannya sebagai bintang sinetro dan iklan, meski aktingnya tak bermutu.
Gambaran di atas sekadar menunjukkan, betapa sesungguhnya “pembentukan masyarakat Indonesia” yang menjelma menjadi sebuah nation building masih berada di permukaan yang dangkal sekali. Kesatuan, persatuan, kemanusiaan, dan kebudayaan Indonesia tampaknya masih sekadar simbolisme, bukan esensi.
Kata Mendiknas, sekolah negeri dilarang memungut biaya apa pun untuk pendaftaran siswa baru. Kenyataannya: untuk masuk sekolah negeri, anak-anak tahu orangtuanya harus membayar jutaan rupiah! Lho, ke mana larinya instruksi Mendiknas itu? Baru pertama masuk saja anak-anak sudah diajari bagaimana memanipulasi kata dan fakta. Dan drama manipulasi itu dilihat anak-anak sepanjang usia sekolahnya! Lantas, apa jadinya mereka kelak. Mereka akan menjadi generasi yang tidak hanya miskin ilmu, tapi juga miskin iman dan moral!
Melihat kenyataan itu, sudah saatnya pihak-pihak yang peduli dan kompeten dengan pendidikan anak berpikir keras: bagaimana menyelamatkan generasi masa depan Indonesia itu! Marikita selamatkan anak-anak kita dari kemunafikan dan kehancuran moral! Jujurlah pada anak-anak bahwa Indonesia tak seindah apa yang dinyanyikan Leony dan kawan-kawannya. Mendongenglah untuk anak-anak tentang pejuang Indonesia yang harus bekerja keras untuk merdeka, tentang koruptor yang lari dan terhina di negerinya, tentang pemimpin yang korup dan otoriter sehingga di akhir hayatnya sangat menderita, dan semacamnya. Jika itu dilakukan, niscaya anak-anak akan semakin mengerti tentang Indonesia dan bercita-cita ingin jadi pahlawan dan pemimpin yang mau membangun negerinya dengan jujur dan rela berkorban untuk bangsanya.

              1. Dilema Ekonomi Indonesia di Era Globalisasi
Mobilitas adalah parameter dari kemajuan ekonomi suatu masyarakat. Di masa depan, karena kekhasannya Indonesia yang berpulau-pulau – akan dibutuhkan pesawat kecil yang jumlahnya banyak sekali sehingga memenuhi skala produksi. Jika sudah demikian, Indonesia nantinya – kata Habibie dalam sebuah wawancara – akan menjadi center of excellent dariindustri pesawat terbang tipe kecil dan menengah, di mana hal itu tidak bisa dilakukan oleh Eropa dan Amerika karena negaranya berbentuk kontinen. Dari situlah kemudian Indonesia akan berkembang menjadi negeri yang mempunyai kekuatan teknologi tinggi yang disegani dunia.
Melihat gambaran tersebut, kita bisa menyadari kenapa BJ Habibie – salah seorang pakar konstruksi pesaat terbang yang palig disegani dunia – rela meninggalkan Jerman – negei yang elah mendidik dan membesarkannya dalam teknologi industri pesawat terbang untuk kembali ke Indonesia membangun industri pesawat terbang tersebut sesuai yang diamanatkan Bung Karno dan kemudian dilaksanakan Soeharto. Dengan pengalamannya yang luas di industri pesawat terbang, akhirnya BJ Habibie terbukti berhasil membangun IPTN yang disegani dunia.
Indonesia sebetulnya negara yang rawan pangan. Ketahanan pangan di Indonesia, kalau mengikuti ketentuan dan kategori Bank Dunia, sangat rendah. Kenapa? Bank Dunia menyatakan bahwa ketahanan pangan tercermin dari ketersediaan pangan dalam jumlah yang memadai bagi semua penduduk untuk dapat hidup secara aktif dan sehat. Pandangan ini didasarkan atas akses individu atau rumah tangga terhadap pangan, di mana makin tinggi akses rumah tangga terhadap pangan, makin tinggi ketahanan pangannya. Kenyataannya di Indonesia, ada dua hal yang saling bertentangan. Di satu sisi, akses rumah tangga terhadap pangan rendah, terbukti masih banyak penduduk yang kekurangan pangan. Di sisi lain, akses petani untuk mendistribusikan hasil panen dengan harga yang layak juga rendah, terbukti dengan jatuhnya harga gabah petani saat ini. semua ini menunjukkan, betapa ketahanan pangan di Indonesia, baik seara konseptual maupun aplikasinya, masih jauh dari memadai untuk mendukung kehidupan petani dan ketersediaan pangan yang berkelanjutan.
Ketahanan pangan di Indonesia sejak rezim Orba sampai sekarang memang menjadi isu sentral dalam pembangunan nasional. Dalam Kabinet Perstuan Nasional (Pemerintahan Abdurrahman Wahid), juga Kabinet Gotong Royong (Pemerintahan Megawati), isu ketahanan pangan merupakan salah satu fokus kebijakan operasional pembangunan pertanian. Untuk itu, bahkan pemerintah membentuk Badan Urusan Ketahanan Pangan di tingkat departemen (eselon I) yang kemudian diubah menjadi Badan Bimbingan Massal Ketahanan Pangan. Badan ini diharapkan dapat memantapkan sistem ketahanan pangan untuk kepentingan nasional.

              1. Indonesia di Kaki Kolonialisme Baru
Tragedi ledakan bom yang menewaskan 188 orang di Bali, sungguh membuat umat manusia beradab menjerit. Betapa tidak, inilah tragedi terorisme terbesar setelah penghancuran World Trade Center di New York 11 September 2001 lalu. Ratusan manusia dari berbagai macam bangsa yang sedang menikmati liburan di Bali tewas dan luka parah karena ledakan bom dahsyat yang dilakukan tangan-tangan keji terorisme. Mereka tidak tahu, kenapa mereka yang tidak bersalah jadi sasaran teroris yang kejam tersebut. Dunia kembali menangis – kenapa kekejaman tanpa pandang bulu dan kemanusiaan terus merajalela di dunia.
Melihat gambaran itu, pantas kalau Lee Kuan Yew menyatakan bahwa Indonesia adalah sarang teroris. Pernyataan Lee yang waktu itu mendapat tantangan keras pihak Indonesia tersebut ternyata mendapat dukungan AS. Sejumlah pejabat tinggi AS, termasuk Presiden George W. Bush, sudah mengindikasikan, bahkan menuduh, Indonesia adalah sarang teroris. Tuduhan Bush yang diucapkan pascatragedi WTC tersebut, setelah adanya tragedi bali tampaknya makin menunjukkan kebenaran. Hal itu harus kita akui dengan jujur bahwa kenyataan ledakan bom di Bali merupakan pengakuan tanpa kata bahwa Indonesia kini telah jadi sarang sekaligus sasaran terorisme. Benar, apa yang diucapkan Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono bahwa kini kita tidak bisa lagi menolak tuduhan bahwa di Indonesia terdapat teroris. Tragedi Bali merupakan fakta tak terbantah bawah tuduhan tersebut ada benarnya.
Tapi yang jadi persoalan, jika faktanya di Indonesia memang ada terorisme, lantas siapakah yang berada di balik tragedi itu? Inilah yang kini jadi persoalan besar. PM Australia John Howard ketika mengomentari tragedi Bali, langsung menuduh dalang tragedi tersebut adalah Al Qaida dan jaringannya. Salah satu jaringan Al Qaida itu, kta Howard, adalah Jaah Islamiyah. Kelompok ini, seperti pernah dituding AS dan Singapura, sempat dituduh menjadi dalang pelbagai teror di Indonesia, mulai dari tuduhan atas sweeping warga AS hingga usaha peledakan gedung Kedubes dan Konsulat AS di Indonesia. Namun, sejauh ini bukti-bukti tuduhan mereka tak pernah diungkapkan.
Indonesia tlah memperoelh kemerdekaannya setelah berjuang dengan darah dan air mata selama 350 tahun! Tapi kalau renungkan, benarkah Indonesia saat ini sudah benar-benar merdeka? Ternyata tidak! Indonesia – kalau kita memperhatikan beban utangnya belum lepas dari penjajahan. Yaitu penjajahan utang alias penjajahan ekonomi yang pelaku-pelakunya hampir sama: negara-negara yang dulu pernah menjajah Indonesia. Bahkan lebih parah lagi, kalau dulu hanya Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang – kini “penjajahnya” makin banyak, termasuk Amerika Serikat. Lebih parah lagi kalau dulu yang bersekongkol dengan penjajah hanya beberapa “pamong dan bupati feodal” sekarang justru banyak sekali, mulai dari pejabat serakah sampai konglomerat hitam.

  1. PENUTUP
a. Kesimpulan
Indonesia, seperti sebuah dongeng, sebetulnya adalah negeri surga. Apa pun tumbuh di Indonesia. Hasil tambang, hutan, dan lautannya melimpah ruah. Jika saja hasil-hasil alam Indonesia dikelola dengan baik oleh pemerintah dan hasilnya diperuntukkan rakyat, niscaya Indonesia akan menjadi negeri yang makmur, gemah ripah loh jinawi. Tapi sayang, karena pelanggaran-pelanggaran terhadap Pancasila mulai sila pertama sampai kelima yang terus menerus berlangsung dari rezim ke rezim, akibatnya sungguh mengenaskan. Indonesia menjadi negeri miskin, tingkat pendidikan rendah, kesejahteraan parah, keamanan kacau, dan keadilan lenyap. Pembakaran Jakarta dan kota-kota besar Indonesia seperti yang terjadi Mei 1997 merupakan manifestasi kebobrokan sosial, ekonomi, dan keadilan negeri ini.
Jika masalah-masalah tersebut tidak kunjung diperbaiki, bukan tidak mungkin peristiwa yang lebih besar dari tragedi Mei 1997 akan terulang. Pemilu 2004 mungkin akan menjadi “pelampiasan” dendam kesumat dari sebagian masyarakat yang tak puas dengan kinerja eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Melihat tanda-tanda yang mengiringi Pemilu DPR dan Presiden 2004 seperti tercermin dari undang-undangnya yang kontroversial – bisa jadi tragedi politik yang amat dahsyat kembali mengoyak Indonesia. Apa bentuknya? Pembunuhan politik? Kerusuhan sosial? Wallahu a’lam.

  1. Tanggapan Tentang Buku
Buku ini mencoba sedikit menguak gambaran Indonesia yang centang perenang tersebut. Mungkin gambaran itu tidak lengkap – karena merupakan kumpulan artikel di berbagai media massa – tapi setidak-tidaknya, dapat membuka mata kita, betapa carut-marutnya problem yang tengah dihadapi bangsa kita. Semoga para pemimpin Indonesia memahami kondisi negaranya yang sedang SOS ini, sehingga rela mengesampingkan tujuan jangka pendek kepentingan politikya demi tujuan angka panjang untuk mencapai sebuah baldatun tayyiban wa rabbun ghafur.
Terakhir, hanya kepada-Mu, Tuhan, kami menyembah dan meminta pertolongan. Hanya Engkaulah yang sanggup memperbaiki kondisi bangsa kami. Tuhan, tolonglah bangsa kami, maafkan kesalahan-kesalahan bangsa kami. Selamatkan bangsa kami agar kembali tegak untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan, sesuai dengan perintah-perintah-Mu. Amin.

Semoga artikel Sinopsis Mendobrak Hegemoni Kekuasaan Korup bermanfaat bagi Anda.

Jika artikel ini bermanfaat,bagikan kepada rekan melalui:

Posting Komentar

Obat Herbal Alami

Peluang Bisnis Online Modal Murah

Hosting Gratis